Reportase : Red.
Elit politik di Kesultanan Aceh Darussalam terdiri dari tiga pilar, yaitu Sultan, Uleebalang dan Ulama (Sjamsudin, 1999: hlm 2), ketiganya berjalan dengan wewenangnya masing-masing dengan Sultan yang dijadikan sebagai pribadi Yang Dipertuan Agung.
Pada perkembangannya, ketika Kesultanan telah dihapuskan Belanda, kaum Uleeblang justru menjadi jongos Belanda, mereka setia berpihak pada Belanda bahkan ketika kaum Ulama mendeklarasikan Aceh bergabung dengan NKRI pada 1945.
Peristiwa adu kuat antara Uleebalang yang Pro Belanda dan Ulama yang Pro NKRI itulah yang pada akhirnya memantik perang saudara yang dahsyat, perang saudara itu menjadi akhir dari riwayat kaum Uleebalang di tanah Rencong, mereka dan bahkan keturunannya benar-benar ditumpas.
Uleebalang dalam bahasa Aceh sama dengan perkataan Hulubalang dalam bahasa Indonesia. Menurut WJS. Purwodarminto dalam kamus umum bahasa Indonesia (1990, hlm 321) Hulubalang artinya laskar atau pemimpin pasukan.
Selain itu, dalam hikayat atau cerita-cerita yang dikisahkan dalam naskah kuno Melayu Indonesia, Malaysia, Singapura dan Brunai, kata Hulubalang sering dijumpai, umumnya yang dimaksud dengan Hulubalang adalah panglima tentara, atau nama pangkat dalam jabatan ketentaraan.
Sementara itu, di Kesultanan Aceh, Uleebalang di samping sebagai panglima tentara oleh Sultan juga diberi tugas mengepalai Nangroe dan memimpin rakyat daerahnya. Ia adalah semacam Adipati (Bre) di Pulau Jawa atau bisa dimaknai juga sebagai Raja bawahan yang tunduk pada Raja Pusat.
Awal Mula Kaum Uleeblang Pro Belanda
Mulanya, ketika Belanda melakukan invasi ke Kesultanan Aceh, baik dalam Invasi ke 1 (1873) maupn Invasi ke 2 (1874). Sultan, Uleeblang dan Ulama bahu membahu melawan Belanda, meskipun pada akhirnya mereka kalah pada invasi kedua terbukti dengan direbutnya Keraton dan Ibu Kota Kerajaan.
Selanjutnya, semenjak wafatnya Sultan Alaudin Mahmud Syah pada 24 Januari 1874 karena penyakit kolera serta beralihnya tahta pada Sultan Muahamd Daud Syah yang baru berumur 6 tahun, kondisi Kesultanan benar-benar dalam keadaan merana, pemerintahan dijalankan di pengungsian dan berpindah-pindah tempat tidak menentu, sementara di sisi lain, para Uleebalang yang masih setia pada Sultan dihabisi Belanda, dalam keadaan inilah Uleebalang yang masih tersisa waktu itu memutuskan untuk mengakui Belanda sebagai penguasa baru mereka. Merekapun yang pro Belanda itu, selamat dan tetap diberikan kekuasaan oleh Belanda.
Kesetiaan para Uleebalang terhadap Belanda bertambah-tambah lebih erat ketika pada tahun 1903 Belanda menghapuskan Kesultanan Aceh, karena sebelumnya Belanda berhasil membuat Sultan Muhammad Daud Syah menyerah pada Belanda sebelum akhirnya Sultan Aceh terakhir tersebut dibuang Belanda ke Ambon dan kemudian dibuang lagi ke Batavia hingga wafat di sana.
Di sisi lain, kaum Ulama tetap pada pendiriannya, mereka terus menggelorakan perang Sabil (Jihad Fi Sabilillah) terhadap Belanda, walaupun kawan mereka kaum Uleebalang sudah menjadi jongos Belanda.
Rasa muak kaum Ulama terhadap para Uleebalang berambah-tambah dahsyat setelah sebelumnya seluruh Uleeblang Aceh menandatangi perjanjian Korte Verklaring yang salah satu isinya “Mengakui raja Belanda sebagai yang dipertuan yang sah dan sebagai tandanya tidak akan mengangkat bendera lain baik di darat maupun di laut selain bendera Belanda” (Hasan Sholeh, 1992 hlm 15).
Konflik Uleebalang dan Ulama Aceh
Perbedaan pandangan kaum Uleebalang dan Ulama pada Belanda sebetulnya pemantik utama dari konflik kedua kekuatan besar di Aceh pada waktu itu.
Kalangan Ulama menganggap Uleebalang sebagai penghianat negara, sementara Kaum Uleebalang juga menganggap kaum Ulama dan pendukungnya sebagai orang-orang Pungo yang memperjuangkan sesuatu yang sia-sia, apalagi setelah Uleebalang mengetahui jika Sultan Muhamad Daud Syah menyerah pada Belanda demi untuk menyelamatkan anak dan istrinya yang tertangkap Belanda.
Bagi kaum Uleebalang, tindakan Sultan yang semacam itu, yang mementingkan keluarga ketimbang kedaulatan Negara menandakan bahwa sudah tidak kongkrit lagi membela Sultan yang bahkan lebih mementingkan keluarganya ketimbang martabat negara.
Konflik Uleebalang dan Ulama menjadi kian memanas setelah Belanda memanfaatkan pecahnya Uleebalang dan Ulama, Belanda memanfaatkan keadaan tersebut untuk mengadu domba sesama orang Aceh agar mudah dikendalikan.
Uleebalang di zaman penjajahan Belanda dijadikan mitra utama oleh Belanda dalam menjalankan roda pemerintah di Aceh dengan para Jendral Belanda yang berkedudukan di Kuta Raja (Banda Aceh) sebagai wakil pemerintahan Belanda di negeri jajahan.
Tidak mau dipencundangi oleh Uleebalang, maka pada tahun 1939, kaum Ulama di Aceh membentuk organisasi agar mereka dapat bersatu, organisasi itu adalah “Persatuan Ulama Seluruh Aceh” atau yang disingkat dengan “PUSA”.
Berdirinya PUSA jelas dianggap sebagai ancaman oleh kaum Uleebalang, maka tidak mengherankan mereka sama sekali tidak mendukung terbentuknya PUSA di Aceh.
Konflik Uleebalang dan Ulama rupanya agak mereda ketika Aceh diduduki Jepang, sebab pada tahun ini, konsentrasi PUSA tidak lagi pada memerangi Uleebalang yang Pro Belanda, melainkan memerangi Belanda secara langsung dengan cara mendukung dan membantu Jepang mengusir Belanda dari Aceh.
Namun, konflik antara kaum Uleebalang dan Ulama memanas lagi ketika Jepang kalah perang dengan sekutu. Belanda kembali menjajah Aceh pada 1945-1946 dengan memboceng tentara sekutu, dalam hal ini, Kaum Uleebalang menyambut baik kedatangan Belanda.
Jika Uleebalang mendukung kedatangan Belanda, maka kaum ulama selepas kekalahan Jepang beralih mendukung Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, dan merekapun telah mantap menggabungkan Aceh kedalam negara baru Indonesia.
Saling ngotot antara Uleebalang yang mendukung Belanda serta Ulama yang mendukung NKRI pada akhirnya menimbulkan bencana, keduanya akhirnya berperang, dalam sejarah, perang saudara diantara keduanya dikenal dengan nama ‘Perang Cumbok’.
Tragedi Penumpasan Uleebalang
Terbentuknya PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) membuat kaum ulama terorganisir dengan baik, sementara di sisi lain para Uleebalang tidak mempunyai persatuan di antara mereka sehingga manakala terjadi perang, dengan mudah kaum Ulama dan pendukungnya menghabisi para Uleebalang beserta para pengikutnya.
Selain itu, faktor lain yang menyebabkan kaum Ulama memenangkan pertempuran dalam Perang Cumbok adalah banyaknya dukungan dari rakyat Aceh serta juga banyaknya dukungan dari orang-orang luar Aceh yang Pro NKRI, sehingga kekuatan kaum Ulama tidak dapat dibendung oleh para Uleebalang, ditambah-tambah lagi dukungan Belanda pada kaum Uleebalang kala itu tidak maksimal.
Pada akhirnya, Kaum Uleebalang menjadi bulan-bulanan para pendukung Ulama, mereka dihabisi dan dibersihkan dari Aceh, bukan itu saja, bahkan keturunan merekapun diburu dan dibunuh.
Perang Cumbok merupakan revolusi sosial yang terjadi di Aceh, karena selepas peristiwa itu, Institusi Uleebalang yang sudah ada di Aceh selama beratus-ratus tahun dihapuskan dalam tatanan pemerintahan di Aceh.
Sultan telah dihapuskan Belanda, Uleebalang telah dihapuskan oleh rakyat, maka kala itu (1946) yang masih eksis di Aceh hanya satu, yaitu Ulama yang tergabung dalam organisasi PUSA, orang-orang PUSA inilah yang dikemudian hari menjadi delegasi Aceh dalam pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Waktu itu, PUSA diketuai oleh Teungku Daud Beureh.
source: historyofcirebon