Oleh : Agus Syihabuddin*
Setiap tahun, umat Islam di seluruh dunia menyambut hari raya Idul Adha dengan gema takbir dan semangat berkurban. Di balik lantunan takbir, tahmid, dan tahlil, serta hewan-hewan yang disembelih, terdapat makna
mendalam yang seharusnya menjadi renungan kita bersama.
Dalam konteks ini, mari kita simak pesan Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Haj ayat 34:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنسَكًا لِّيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۗ فَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا ۗ وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ
Artinya: “Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka. Maka tuhan kalian adalah Tuhan Yang Esa. Kepada-Nyalah kalian berserah diri. Dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang tunduk dan ikhlas”.
Ayat ini dibuka dengan kalimat wa li kulli ummat ja‘alnā mansak artinya “dan bagi setiap umat telah Kami syariatkan berkurban”, penuturan ini mengandung makna yang mendalam.
Frasa li kulli ummat (bagi setiap umat) yang diletakkan mendahului “kata kerja” dan “objek”, berfungsi sebagai penegasan. Jalaluddin al-Suyūṭī dalam Al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān (2: 51), menyebutnya sebagai pengistimewaan. Gaya redaksi ini memberi isyarat bahwa kurban bukan hanya ritual, melainkan warisan spiritual yang telah mengakar dalam masyarakat manusia.
Dengan penegasan “bagi setiap umat”, Al-Qur’an menyampaikan pesan bahwa kurban memiliki dimensi universal. Ia tidak semata-mata syariat, tetapi bagian dari peradaban. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah (9: 53) menunjuk bahwa dalam kurban terkandung nilai-nilai yang membentuk masyarakat, yaitu: empati, solidaritas, dan tanggung jawab sosial. Ibadah ini mencerminkan perjalanan batin manusia menuju kedewasaan spiritual dan tanggung jawab sosial.
Setiap kali menyembelih hewan kurban, sejatinya kita sedang menghidupkan kembali sebuah warisan agung umat manusia—warisan yang mengajarkan bahwa kepedulian kepada sesama adalah fondasi dari peradaban yang luhur.
–o0o–
Pesan utama dari ayat ini adalah bahwa kurban merupakan bagian dari syariat, yaitu aturan yang telah Allah tetapkan bagi setiap umat, sejak dahulu kala. Namun menariknya, Allah tidak menggunakan kata nusuk (ritual/ibadah) secara langsung, melainkan memilih kata mansak—yang menurut sebagian ulama merupakan isim makan (kata yang menunjukkan tempat) dari akar kata nasaka – yansuku. Imam Al-Farra dalam kitab Ma’ãnĩ al-Qur’ãn (2: 230) menjelaskan kata al-mansak sebagai tempat yang biasa digunakan untuk baik atau buruk.
Pilihan diksi mansak (tempat kurban) ini menyiratkan bahwa kurban bukan hanya tentang tindakan ritual semata, tetapi juga tentang tempat, waktu, dan sejarah pelaksanaannya.
Ini menunjukkan bahwa kurban memiliki dimensi historis dan simbolis yang kuat, yang terkait dengan kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ‘alaihimas salam. Peristiwa penyembelihan Ismail di tempat khusus—yang kemudian menjadi bagian dari ritus haji—menjadi jejak awal pengorbanan besar dalam sejarah spiritual umat manusia. Tempat itu bukan sekadar lokasi geografis, melainkan ruang suci yang menjadi saksi penghambaan dan ketaatan tertinggi.
Dengan demikian, pemilihan kata mansak dalam ayat ini, mengingatkan kita bahwa kurban adalah ibadah yang mengakar dalam sejarah tauhid, yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ia bukan hanya perintah ritual, tetapi juga representasi dari warisan spiritual, budaya, dan nilai-nilai kemanusiaan yang dibangun atas dasar pengorbanan yang berpangkal pada keimanan.
Hari ini, ketika kita menyembelih hewan kurban, sesungguhnya kita tengah menyambung mata rantai sejarah itu—menghidupkan kembali makna ruang spiritual yang pernah ditempuh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, lalu diwariskan kepada umat Nabi Muhammad sebagai bagian dari kesatuan syariat.
–o0o–
Dalam lanjutan ayat ini, Allah SWT berfirman: liyadzkurũ ismallãh ‘alã mã razaqahum min bahĩmat al-an’ãm artinya “agar mereka menyebut nama Allah atas apa yang telah Allah rezekikan kepada mereka dari hewan ternak”.
Frasa ini mengandung pesan bahwa ibadah kurban adalah bentuk nyata dari rasa syukur kepada Allah atas nikmat rezeki yang telah diberikan. Al-Qurthubi dalam Al-Jãmi’ li Ahkãm al-Qur’ãn (14: 392), menjelaskan bahwa menyebut nama Allah saat menyembelih bukan sekadar formalitas, melainkan tindakan spiritual yang menunjukkan kesadaran bahwa semua yang kita miliki berasal dari-Nya.
Kurban bukan semata tentang jenis dan jumlah hewan yang disembelih, melainkan tentang pengakuan tulus bahwa segala yang kita miliki adalah karunia Allah yang patut disyukuri. Dengan menyebut nama-Nya atas rezeki yang dikurbankan, kita meneguhkan bahwa kita bukan pemilik sejati, melainkan hanya penerima titipan yang diuji sejauh mana mampu berbagi dan menaati perintah-Nya.
Lebih dari itu, penyebutan nama Allah saat berkurban adalah bentuk pengembalian makna atas materi duniawi kepada sumbernya yang Ilahi. Dalam hewan kurban itu ada rezeki, dalam rezeki itu ada amanah, dan dalam amanah itu ada ujian: apakah kita akan menikmatinya sendiri atau kita rela berbagi demi sesama.
Maka, berkurban sejatinya adalah ekspresi syukur yang hidup bukan hanya dalam doa, tetapi dalam tindakan nyata. Ia adalah bentuk penghambaan yang bersumber dari hati yang penuh terima kasih, sekaligus mengajarkan bahwa rasa syukur yang sejati akan selalu melahirkan kedermawanan, bukan hanya pengakuan.
–o0o—
Redaksi berikutnya adalah fa ilãhukum ilãh wãhid falahũ aslimũ artinya “maka Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Esa, berserah dirilah kepada-Nya”.
Menurut Sayyid Quthub dalam Fĩ Dhilãl al-Qur’ãn (hlm. 2423), pengaitan kurban dengan ke-Esa-an Allah memberi pesan kuat bahwa hakikat ibadah kurban bukan sekadar menyembelih hewan, tetapi merupakan bentuk pengakuan mendalam atas ke-Esa-an Allah dan ketundukan total kepada aturan-Nya. Juga Imam Al-Razi dalam Al-tafsĩr al-Kabĩr wa Mafãtĩh al-Ghaib (21: 35), menafsirkan frasa fa ilãhukum ilãh wãhid falahũ aslimũ sebagai penegasan kembali prinsip tauhid, bahwa Tuhan Yang berhak disembah adalah satu, yang sama sekali tidak boleh disekutukan dengan sesuatu pun, dan perintah-Nya wajib diikuti dengan penuh ketulusan.
Penegasan ini tidak muncul dalam ruang kosong. Ia hadir setelah Allah menyebut bahwa setiap umat memiliki syariat kurban, bahwa rezeki yang dipotong itu berasal dari-Nya, dan bahwa nama-Nya harus disebut dalam ibadah itu. Maka puncak dari semua ini adalah pengakuan dan penyerahan diri kepada-Nya secara total—lahũ aslimũ—tunduk dan patuh hanya kepada-Nya.
Kurban adalah simbol ketaatan yang bersumber dari kesadaran tauhid. Ia mencerminkan sikap batin yang mengakui bahwa hidup ini milik Allah, bahwa aturan-Nya lebih tinggi dari keinginan manusia, dan bahwa berkurban demi asma-Nya bukanlah kerugian, melainkan kehormatan.
Dalam tindakan kurban, seorang Muslim seperti sedang mengatakan, “Ya Allah, Engkaulah Tuhanku yang Maha Esa, maka inilah diriku, hartaku, dan pengorbananku—semua ini aku serahkan kepada-Mu.” Ini adalah pelajaran spiritual yang dalam, yaitu bahwa ketulusan dan kepatuhan kepada Allah adalah inti dari semua ibadah.
Oleh karena itu, kurban tidak boleh dimaknai sebatas ritual tahunan. Ia adalah pembuktian iman dan peneguhan tauhid, sebuah latihan jiwa agar kita selalu siap tunduk pada kehendak-Nya, bahkan ketika yang diminta terasa berat dan menantang.
–o0o–
Selanjutnya, ayat ini ditutup dengan wabasysyir al-mukhbitĩn artinya “dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang mukhbitin”. Al-Zamakhsyari dalam Al-Kasysyãf ‘an Haqãiq Ghawãmidh al-Tanzĩl wa ‘Uyũn al-Aqãwĩl fĩ Wujũh al-Takwĩl (5: 195) menjelaskan bahwa kata al-mukhbitin mencakup tiga aspek: al-mutawãdhi’ũn (yang tunduk), al-khãsyi’ũn (yang khusyu), dan al-muthmainnũn (yang tentram).
Dalam penutup ayat ini Allah SWT tidak hanya menyampaikan perintah, tapi juga menyertakan bisyãrah —kabar gembira— bagi mereka yang tunduk dan patuh penuh ketulusan dan kekhusyuan di hadapan-Nya.