Catatan Kecil Perang Non Militer
Oleh: MAP
Judul di atas cukup provokatif namun memicu kewaspadaan kita sebagai bangsa atas perkembangan situasi pasca massa aksi serempak pada 25 – 28 Agustus (2025) di Jakarta dan berbagai daerah lainnya.
Pertanyaan menggelitik muncul, “Apakah aksi 25 – 28 Agustus kemarin hanya cek ombak, atau ‘foreplay’ menuju titik (klimaks) kulminasi yakni revolusi warna?” Ini asumsi sekaligus prolog catatan.
Niscaya beragam tanggapan akan muncul. Namun, simpan dulu jawaban agar tulisan ini dilanjutkan.
Catatan ini tidak berbicara tentang kemiskinan dan ketidakadilan sebagai bahan bakar massa aksi; tak juga membahas kubu-kubu yang saling berbenturan secara senyap demi syahwat kekuasaan; tak pula mengulik kelompok perusuh yang terindikasi cipta kondisi menuju keadaan tertentu, dan lain-lain.
Sesuai judul — tulisan ini akan fokus pada gerakan massa non kekerasan yang pernah mengacak-acak banyak negara dan kerap disebut: revolusi warna atau color revolution.
Singkat cerita, di awal abad ke-21 lalu, revolusi warna ialah gerakan massa aksi dan protes non kekerasan terhadap pemerintahan dalam rangka ganti rezim, ganti sistem, bahkan memecah negara menjadi (negara) kecil-kecil.
Itu pernah terjadi di jajaran negara pasca Soviet dahulu —seperti Ukraina, Georgia dll— serta Republik Federal Yugoslavia. Sasaran antara dari revolusi warna itu membangun demokrasi (liberal) ala Barat, meskipun hidden agenda-nya jelas perluasan hegemoni Barat dan meraih (geo) ekonomi.
Revolusi warna pada kedua kawasan di atas, dipicu oleh isu pemilu curang. Akan tetapi, pada 2010-2011 ketika revolusi warna melanda Jalur Sutra —Timur Tengah dan Afrika Utara— sebutannya tidak lagi revolusi warna, tapi diubah menjadi ‘Arab Spring’. Bahan bakarnya tidak sama dengan isu-isu di Yugoslavia dan eks Soviet; operasional Arab Spring di Jalur Sutra itu cenderung mengekaploitasi isu kepemimpinan tirani, misalnya, atau isu demokratisasi, korupsi dan lainnya.
Entah Arab Spring atau revolusi warna, polanya nyaris sama yaitu non kekerasan dan memakai proksi aktor-non negara baik aktor individu (elit global) maupun NGO alias Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai operator.
Untuk LSM dibiayai oleh National Endowment for Democracy (NED), LSM spesial ganti rezim yang didanai oleh Kongres Amerika Serikat (AS) setiap tahunnya.
Bagaimana dengan massa aksi pada Mei 1998 dahulu di Tanah Air?
Karen Brooks memberi isyarat, bahwa pola Arab Spring di Jalur Sutra itu meniru pola gerakan massa pada Mei 1998 di Jakarta. Merujuk isyarat Brooks, apakah berarti antara aksi Mei 1998 dan gerakan Arab Spring itu ‘bohir’-nya sama? Silakan tafsirkan sendiri.
Yang jelas, National Democratic Institute alias NDI (underbow-nya NED) pimpinan Madeleine Albright lalu berada di belakang LSM lokal baik CETRO, LBH pada masanya dll dimana mereka tergabung dalam ‘Koalisi Ornop Untuk Konstitusi Baru’. Ornop sendiri kependekan dari Organisasi Non-Pemerintah. Sesuai namanya, Koalisi tersebut bertujuan mengganti UUD 1945 warisan Pendiri Bangsa. Dan operasi non militer asing melalui pemain lokal tersebut sangat berhasil, oleh karena semenjak 2002 — Indonesia ganti sistem dari Sistem MPR menjadi sistem yang individualis, liberal lagi kapitalistik dengan kode UUD NRI 1945 atau disebut UUD 2002. Itulah yang kerap disebut dengan istilah kudeta konstitusi.
Tak boleh dielak, elit global peremot krisis 1998 ialah George Soros. Sudah menjadi rahasia umum ketika ia memborong dolar dikala negeri ini jatuh tempo membayar utang dan bunganya. Dolar pun melangit, rupiah anjlok di pasar modal. Itu sekilas ‘revolusi warna’ ala Indonesia dahulu. Tanpa asap mesiu, negara jatuh dalam pelukan penjajahan (senyap) gaya baru melalui sistem bernegara.
Nah, apakah hiruk-pikuk massa aksi kemarin ada gejala bahwa revolusi warna hendak dimainkan ulang di Tanah Air?
Mari kita audit dan uji nyali berbasis beberapa indikator, misalnya:
Satu: Merapatnya Indonesia ke BRICS jelas tidak disukai oleh Barat karena tak selaras dengan agenda AS dan elit global semacam George Soros dll;
Dua: Meski Indonesia bukan anggota penuh OECD, sebatas key partner OECD sejak 2007, yang menarik ada beberapa teknokrat dan pejabat tinggi yang bangga dengan akan diterimanya (aksesi) Indonesia menjadi anggota OECD. Gilirannya, kehadiran Presiden Prabowo ke China untuk memperingati 80 tahun kemenangan RRC atas Jepang, seakan tengah menerapkan politik bebas aktif. Padahal, jika dikembalikan pada perjanjian dagang AS – Indonesia, sebenarnya Indonesia dalam posisi gamang. Hal ini dikarenakan permasalahan struktural domestik yang menumpuk lagi belum terselesaikan.
Tiga: Selain Indonesia adalah negara Asia Tenggara pertama yang bergabung ke BRICS dan secara terbuka menjalin hubungan dengan China dalam skema One Belt One Road (OBOR) atau kini diganti Belt and Road Initiative (BRI);
Empat: Indonesia juga merupakan ekonomi terbesar ke-8 di dunia (IMF, 2024), ekonomi terbesar di ASEAN, dan merupakan negara dengan populasi terbesar keempat di dunia. Bagi Barat, itu pasar yang potensial selain potensi sumber daya yang melimpah-ruah; dan
Lima: Dari perspektif Imperialis Barat, Indonesia adalah target utama yang layak diacak melalui revolusi warna agar kembali dalam ‘pelukan’ Barat.
Itulah sekilas catatan kecil yang perlu dicermati. Ini bukan paranoid, apalagi fobia — tapi kewaspadaan. Dan tidak ada maksud menggurui siapapun terutama para pihak yang berkompeten, hanya sekadar sharing kegelisahan untuk derap bersama serta kewaspadaan anak bangsa tentang perang hibrida yang kini telah menyusup secara non militer pada berbagai aspek di publik.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang di antara rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
MAP 030925,
Advertisement