Koloni-koloni burung menjelajah langit biru negeriku
Menuruti naluri tuk berganti pindah mencari harapan baru
Pun berjibun serangga beraneka rupa yang terbang berjejalan
Berpacu melawan waktu yang tengah berhenti, demi melanggengkan keturunan makhluk-makhluk pengabdi itu
Di bawah langit tak berawan negeriku,
orang-orang berjalan linglung menyusuri kampung-kampung gersang, lorong-lorong kota-kota tak berpohon
sejak kemarin lama daun-daun berguguran menyisakan ranting-ranting rapuh
hanya untuk menebus dahaga
Ahhh… masih terdengar lantunan nyaring kalimat-kalimat suci
Para pengkhutbah fasih berapi-api menarasikan dalil-dalil langit
Kata mereka: sabar, bersabarlah kalian, ini semua ini hanyalah cobaan
Para rohaniwan menghibur jemaat bak domba-domba kehausan
Mereka berkeras tanya:
Mengapa Tuhan membiarkan bumi garing, Romo?
Di luar altar dan mimbar mereka menego takdir, dan berteriak: air, air… mana air, Tuhan
Kami butuh air, barang seteguk
Air, air… paringi kulo toya Gusti Allah
Kami haus, jangan siksa kami
Turunkan air langit duhai Rabiku Penguasa Air!
Di mana kalian?
Di mana penguasa?
Di mana insinyur?
Di mana aparatur?
Di mana nilai-nilai kearifan lokal?
Ke mana kiai?
Ke mana habaib?
Ke mana romo pastur?
Ke mana pendeta?
Ke mana seniman?
Ke mana guru?
Ke mana profesor?
Di mana para panutan?
Di mana aktivis?
Di mana jurnalis?
Di mana politikus?
Di mana taipan?
Di mana kalian, ya kamu, kalian yang tak kusapa satu-satu?
Bagaimana mungkin hari ini bumi tanpa air, bro?
Eh, kamu bertanya?
Bukankah kemarin dulu loe mengolok-olok ide sumur resapan?
Loe kan yang bilang biopori itu tahi kucing?
Loe kan yang bilang sumur resapan ga tertulis di kitab suci?
Pekikmu pekokmu, kawan!
Time up!
Bumi tanpa air saat ini adalah semesta yang kamu tolak!
Bahkan di puncak suhu bumi waktu berhenti berputar
Sempurna
Dengan kerongkongan garing, juga gatal, aku jawab gelisah kalian: asu!
Lasem, 23 April 2024