Oleh : Amin Mudzakkir
Di negeri ini akademisi yang terdiri dari dosen dan peneliti adalah buruh prekariat. Hidup mereka sering tidak menentu, termasuk pendapatannya. Banyak akademisi yang mengajar dan melakukan penelitian hanya untuk bertahan hidup yang semakin keras.
Jika ada akademisi yang terlihat kaya raya, saya bisa pastikan duit mereka bukan dari pekerjaan utamanya. Upah mereka pas-pasan, bahkan di beberapa kampus jauh dari layak. Ini bukan retorika, melainkan pengalaman saya sendiri. Kalau mereka tetap datang ke kelas, itu murni karena panggilan jiwa.
Di luar kota besar seperti Jakarta kondisinya bisa lebih buruk lagi. Upah dosen non-PNS yang tidak mempunyai jabatan struktural di kampus setara dengan biaya sekali, saya katakan sekali, makan siang politisi Senayan. Lagi-lagi ini pengalaman saya sendiri. Mengajar filsafat ilmu, bayangkan filsafat ilmu, sebanyak tiga kelas seminggu saya mendapatkan upah sekitar 300 atau 400 ribu per bulan.
Maka jangan heran kalau banyak akademisi yang lari ke dunia politik yang lebih praktis. Di sana ada uang dan kekuasaan, kontras dengan dunia akademik yang berlimpah pengabdian. Bersyukur kalau itu dijalankan secara ikhlas, setidaknya mungkin nanti akan mendapatkan pahala dan keberkahan.
Beban akademisi juga berat dan sering tidak masuk akal, termasuk di dunia penelitian. Saya sudah bekerja hampir 20 tahun di bidang ini dan semakin ke sini sejujurnya saya semakin tidak mempunyai harapan. Saya masih bertahan karena belum ada pilihan.
Selamat hari buruh!
Berat negeri ini.