Karya : Fariq Alfaruqi

Jangan kau alamatkan lagi sirih pinang
bagi penjaga nadi air, untuk pengawal jantung angin
pada pengasuh lambung tanah.
Atau gelombang pitunang
untuk menziarahi kuntum rahasia
warna pasi kematian terkilas di pucat kamboja
aroma mabuk kesedihan tajam sengat lantana.
Atau decak tolak bala dan siulan tiga nada
sebab musim pancaroba menyeret jubahnya
demi mengunjungi kesepian yang meninggi
di pucuk akasia, menguji ketabahan
yang menebal pada kulit trembesi.

Demi degup rimba, lenguh gunung, desah padang sabana
yang sehembus setarikan nafas dengan aumku.

Jangan kau haturkan sembah seluruh salam
sebagai puja-puji pada denyut renik sekalian alam.

Ketika suluh pandangmu padam
tongkat langkahmu patah, kitab pikiranmu latah
memilih jalur mana menuju landai lembah
jalan mana ke arah curam lurah
membaca rusuh muara dari gelagat tenang hulu
memisahkan racun cendawan dan tawar benalu.

Semenjak jelujur akar dan sulur menjalar
putus tali rima dari sampiran pantunmu
mata air tak hendak menuntun mata kailmu
menemu insang ikan di balik batu-batu
tangan angin enggan membimbing anak panahmu
mendahului lesat tungkai rusa dan lejit waktu.

Sedari petuah rimba hilang rimbun
dalam pokok kecambah gurindammu
dendam babi tak menunggu gugur kamboja
untuk menyudumu dan menghantamkan taringnya
amarah cindu akan mencegatmu
dan menyabetkan kukunya
sebelum aroma lantana menguap di udara.

Gelombang pitunang, sembah salam
tebu manis yang pernah tumbuh di bibirmu itu
kini hanya tinggal sepah serapah penyulut api jerubu.

Tak akan mampu lagi mengusik petilasanku
agar menyeberangkan nyawamu di musim bandang
tak bakal bisa lagi memanggilku untuk datang
dan mengalihkan topan dari jalanmu pulang.

“Semenjak benih hutan masih dikandung tanah
moyang kita telah saling bertukar cendera kata.
Pohon riwayat telah mencatat persetubuhan laknat
yang melahirkan anak-anak belang kala dilanda kesumat
Di lain bunga hikayat, arwah leluhurku
menunggangi jasad leluhurmu
menjaga malam kelat dengan pupil mata yang biru.

Jangan pisahkan usul arang dengan muasal abu
yang berbagi serat dalam satu jasad kayu.”

Demi gelap belukar yang bersekutu dengan belangku
jangan sebut lagi kisah-kisah lama perintang lengang itu.

Pulangkan sejumput bulu yang aku titipkan
jadi jalin gelang sumpah kita dahulu
kembalikan seruas kuku yang aku berikan
dan kau tanam dalam bandul perjanjian masa lalu.

Kemudian, hanya terkamanku
yang akan menyahut sirih pinangmu.

Padang-Depok, 201

Telah ditayangkan di Kompas, (2/2018)

Advertisement

Tinggalkan Komentar