Oleh : Agus Wahid

Muncul segerombolan pembela Jokowi. Siap memperkarakan sang fighter Roy Suryo Notodiprojo, pakar digital forensik Dr. Eng. Rismon Sianipar, akitivis Dr. Tifauzia Tyasumma dan Rizal Fadhilah. Tekadnya siap jebloskan keempat fighter yang dinilai menggangu ketenangan junjungannya: si “raja” Jawa karena mempersoalkan keaslian ijazah UGM yang dimiliki Jokowi.

Sebuah sikap tegas yang diperlukan, haruskah dibiarkan barikade pembela ijazah yang sangat diragukan keasliannya itu? Haruskah perjuangan para fighter anti ijazah palsu itu terhenti di jalan sampai akhirnya kebenaran pasti lenyap? Haruskah ketidakjelasan ijazah yang digunakan Jokowi selama lima kali kontestasi (dua kali pilkada Solo, sekali pilkada DKI Jakarta dan dua kali pilpres) dibiarkan lolos tanpa sanksi hukum pasti?

No. Meski telah berlalu penggunaannya, namun kebenaran harus diungkap. Sanksi hukum juga harus diberlakukan. Untuk sebuah keadilan yang berlaku bagi semua, tanpa diskriminasi.

Ancaman gerombolan pro Jokowi itu sejatinya berusaha menghempaskan upaya pencarian kebenaran pasti seputar ijazah Jokowi. Tindakan ini – harus kita catat – sebagai kejahatan terencana dan sistimatis yang berusaha melindungi perbuatan pemalsuan sebuah dokumen penting bagi kepentingan setiap warga negara, terutama yang behubungan dengan urusan publik (negara).

Untuk itu, ancaman Projo dan anteknya tak boleh dibiarkan. Harus DILAWAN. Jika perlawanannya secara prosedural, yakni melaporkan balik ke kepolisian, kita sudah dapat memprediksi: responnya akan super lambat. Boleh jadi, laporannya diterima tapi dibuang ketong sampah.

Lalu? Seluruh elemen yang anti kepalsuan ijazah harus merapatkan barisan: tegakkan sistem hukum ala “The Dark Justice”. Tindakan sewenang-wenang harus dijawab dengan show up yang dapat memberikan efek jera. Dalam hal ini barisan purnawirawan TNI-POLRI haruslah memback up bahkan – kalau perlu – menjadi garda terdepan (front liner) untuk misi pemberantasan ijazah yang diduga kuat palsu, at least, memang tak memiliki ijzah resmi asli.

Tanpa tindakan show up yang riil, para pemuja kepalsuan itu akan semakian liar dan busung dada kepada para fighter pro kebenaran dan kejujuran. Yang perlu kita garis-bawahi, tindakan tegas itu untuk membasmi premanisme

barbaristik di tengah keberadaan supremasi hukum negeri ini. Sementara, kita saksikan premanisme ini telah merajalela. Dalam kasus memback up Jokowi, tampak premanisme ini menyingkirkan peran TNI-POLRI. Bisa dinilai melecehkannya. Lalu, di manakah harga diri TNI-POLRI? Bahkan, di mana martabat seorang Panglima Tertinggi ketika melihat kepongahan kaum preman barbar itu? Sungguh miris negeri ini.

Advertisement

Tinggalkan Komentar