Oleh : Andang HS

Memelihara hewan peliharaan, banyak suka dukanya. Juga aneh, karena jika sudah lama dipelihara, ada perasaan menyatu dengan hewan peliharaan seperti layaknya punya anak sendiri. Kami punya dua kucing lucu. Oyen (jantan) dan Mochi (betina). Umurnya belum genap 1,5 tahun dan sejak kecil memang kami pelihara.

Alkisah, suatu hari karena jengkel, gara-gara Mochi memecahkan sesuatu dan bulunya pun kadang bertaburan, ibu negara sontak menyuruh si adek menaruh kucing putih lucu tersebut ke rumah kawan SMA nya. “Sebel…!” katanya.

“Sudah? gak nyesel ini gak ada?” tanya Adek.
“Gaaakkkk….udah taruh sana…!” jawab si emak.

Maka selepas Ashar, dibawalah Mochi ke tempat teman SMA nya di kawasan belakang Ambarukmo Hotel, Yogya.

Sehabis Maghrib, sesudah sholat, baru terasa. Keheningan menyergap. Waktu itu Oyen belum ada. Jadi terasa betul anehnya rumah tanpa hewan penghibur mata memandang. Biasanya melihat mochi berlari ke sana ke mari, namun kini tiba-tiba lantai rumah kosong, hening. Rasanya memang sepi. Tak ada lagi yang bermanja-manja di kaki kita minta dielus. Mochi termasuk kucing putri kraton, pemalu dan sopan sekali. Hanya gara-gara memecahkan gelas kesayangan ibu negara, dia dihukum.

Ketika hendak ke dapur mengambil sesuatu, mendadak, ibu negara “mewek”. Matanya berlinang-linang.

“Baang,..ambil lagi mochi baaaanggg….!” pintanya di sela tangis.
“Lhoo…?” kataku.
“Kan sudah dikasih orang..?”
“Aduh enggak baaang….kasihan dia di sana. Sepi bang, sedih kali aku,” matanya tambah berlinang-linang.
“Nah, kaan…kemarin dia yang suruh kasihkan orang…”
“Ndak jadi baaangg…kasihan…ambil lagi baaanggg…” katanya lagi, jadi lucu melihatnya.

Rupanya, hewan peliharaan memang sudah seperti anak sendiri jika telah lama bersama kita. Terkenang ketika membelikannya makanan, memandikannya di tempat salon kucing. Memeriksa tempat makannya apakah sudah habis, dan mencari ke sana ke mari di luar rumah jika seharian tidak pulang. Itu pernah kami alami ketika Mochi tidak ketahuan ke mana perginya sejak pagi, sore hari baru ketemu. Begitulah, di dunia ini di manapun jika orang sudah sayang dengan hewan peliharaan, memang seolah sudah jadi anggota keluarga.

Alhasil, kami menyuruh Fadzli, anak kami bungsu, mengambil kembali Mochi dari tempat kawannya. Tentu saja si Adek, panggilan sayangnya, tidak mau.
“Itu kan sudah dikasihkan kawanku, lagipula Mochi di sana sudah nampak betah, gak enak aku,” sanggah Adek.

Meledak lagi tangis mamanya. Minta Adek supaya mengambil kembali dan membayar ganti uang membeli makan mochi di rumah kawannya.

Akhirnya dengan sedikit bujukan ulung, Adek terpaksa mau mengambil kembali Mochi, setelah 3 hari di rumah kawannya. Kami berikan uang sekadarnya untuk mengganti biaya makan, dan ucapan terimakasih.

Untungnya, teman si Adek ini mau mengembalikan Mochi. Setelah dikatakan mamanya menangis-nangis ingat si Mochi. Kawannya ini pun katanya agak kesal, karena Mochi juga sudah manja dengannya. Berpesan agar jangan lagi menitipkan kucing kepadanya.

Begitulah, dengan semangat, Mochi kembali dibawa pulang ke rumah. Bukan main senang hati ibu negara. Dipeluk-peluk dan dicium, seolah kehilangan anak sendiri dan baru jumpa lagi. Mochi, tentu saja senang kembali ke rumah asal, dan kembali berlari ke sana kemari dengan bulu putih panjangnya.

Sekarang, kami ketambahan peliharaan, si Oyen. Kucing jantan orange yang bukan main pintar dan agak “mbedik”. Tikus dan burung kenari peliharaanku pernah dibunuhnya. Tapi manja karena sering minta dipangku ibu negara. Atau dengan santainya naik ke ranjang tidur kami, ikutan tidur dengan pulas di kamar ber AC.

Dasar kucing…!

Kans Jawara