Oleh : Sobirin Malian
Di India ada seorang seorang pintar bernama Kautilya yang menurut sejarah hidup antara 350-275 SM. Kautilya adalah seorang filosof dan juga negawaran.
Dalam strata sosial India, Kautilya tergolong pada kasta Bahmana. Dia mendapat pendidikan yang baik di Taxila, sebuah kota kuno sekarang masuk wilayah Pakistan. Dari pendidikan dia banyak belajar sehingga berpengetahuan luas dan menguasai ilmu mulai dari obat-obatan, astronomi, termasuk politik, ekonomi dan hukum. Atas pengetahuannya yang luas itu – ketika dia pulang ke India – dia diangkat menjadi penasehat pemerintahan dan staf ahli Perdana Menteri Kaisar India Chandragupta, penguasa pertama dari dinasti Maurya. Di antara tugas penting Kautilya adalah, dia membantu Chandragupta mengkudeta penguasa Dinasti Nanda di Pataliputra, wilayah Magadha, pada tahun 322 SM.
Khusus pikiran-pikiran politik Kautilya, telah dibukukan dan diberi judul Arthashatra, “Sains tentang Memperoleh Materi”. Buku ini disusun antara tahun 321-300 SM, terdiri 15 volume, 150 bab, serta 6.000 saloka. Di antara hal menarik dalam buku ini adalah, dia membahas tentang korupsi yang dalam Bahasa Sansekerta disebut bhrash. Kata bhrash berarti gagal; menyimpang dari; atau terpisah dari; tercerabut dari; busuk; hilang; jahat; ganas dan merusak akhlak (Priti Phohekar: 2014).
Menurut Kautilya, sifat dasar manusia cenderung korupsi. Korupsi itu merupakan hal yang inheren dalam diri manusia. Korupsi adalah tindakan yang bertentangan dengan kemurnian. Dalam perspektif ini, jiwa adalah sesuatu yang murni (suci) sementara tubuh dan semua materi fisik, adalah hal-hal yang korup.
Dalam kaitan dengan kekuasaan (pemerintahan), Kautilya bernarasi: adalah tidak mungkin orang menelan madu, tetapi lidah tidak merasakan manisnya, terkecuali lidah sudah mati rasa. Jadi, mana mungkin madu yang kita telan tapi lidah tidak merasakan manisnya. Oleh karena itu, sangat mustahil pegawai pemerintah – terutama para pejabatnya; demikian juga lembaga-lembaga pemerintahan, lembaga negara, lembaga yudikatif, lembaga legislative – tidak mencicipi meski hanya satu gigitan “roti pemerintah”, kekayaan negara. Pegawai atau pejabat pemerintahan, ibarat ikan di air. Tidak seorang pun dapat mengatakan, kapan ikan itu minum air atau berapa banyak air telah ia minum?
Itulah sulitnya mendeteksi korupsi. “Seperti ikan yang berenang, tidak mungkin dapat diketahui, apakah ikan itu minum atau tidak. Demikian pula, tidak mudah mengetahui apakah pejabat atau pegawai itu korup atau tidak,” kecuali ada yang bernyanyi karena “tidak kebagian” atau “bagiannya kurang”.
Kalau disimpulkan, Kautilya telah menyatakan bahwa korupsi sejak dahulu kala sudah ada. Dan ternyata korupsi terus berkembang menjadi sebuah fenomena; masuk ke mana-mana; ia menulari siapa saja, tidak mengenal musim, tidak mengenal jender, tidak mengenal suku, ras, agama dan golongan. Yang lebih ironis dan tentu menyedihkan, korupsi dianggap sebuah fashion; kalau tidak melakukan dikatakan sebagai ketinggalan zaman. Astaghfirullah !.
Korupsi dan Agama
Menurut banyak ahli sosial (Salahuddin Wahid:2016) agama kurang bisa berperan dalam perjuangan melawan korupsi dan melawan fenomena maraknya pelanggaran etika, karena pendidikan agama lebih menekankan pada aspek kognitif (pengajaran), bukan pada aspek afektif yang berdasar pada pembiasaan dan keteladanan (akhlak). Perlu ada langkah nyata untuk mendorong penghayatan, internalisasi nilai dan transformasinya menjadi tindakan nyata.
Proses penanaman anti korupsi umumnya banyak mengalami kendala dalam pelaksanaannya. Seseorang yang dibesarkan dalam lingkungan pengusaha yang sering menyuap pejabat pengambil keputusan, akan terbiasa dengan perilaku itu, walaupun dia diberi pelajaran bahwa praktik itu dilarang agama. Anak muda yang dibesarkan dalam keluarga politisi akan memilih jalur kecurangan, membeli suara, dan mempengaruhi KPU dengan berbagai cara agar mengikuti kebiasaan itu untuk menang.
Bukan cerita baru bahwa, apabila pejabat ingin menduduki posisi tertentu perlu melakukan praktik setoran atau upeti kepada pejabat yang berwenang – atau paling tidak menggunakan surat sakti (katebelece), apabila mau promosi atau mutasi ke posisi strategis dan dapat posisi basah. Tentu dia harus membayar sejumlah fee – sebagai pelicin. Kesemua kondisi dan kebiasaan seperti itu tidak mudah untuk dilawan.
Mengapa Korupsi Masih Masif?
Menurut Jakob Sumardjo (2019), berbicara korupsi itu identik dengan membicarakan persoalan jiwa sehat dan jiwa yang sakit. Orang yang masih berjiwa sehat tentu dia akan tetap menggunakan akal dan nuraninya dalam bertindak. Kalau dia seorang penguasa – dia akan memegang amanah dengan nurani sekuat tenaga agar tidak menyeleweng, terutama tidak ingin menyakiti hati rakyat (konstituennya).
Namun, sebaliknya bagi penguasa sakit. Dia senantiasa akan mempermainkan rakyat; membalik dirinya agar dirinya yang sakit dianggap waras, dan mereka yang waras menjadi sakit. Celakanya, rakyat kurang terlatih dalam pemikiran sehingga mereka mudah dimanipulasi oleh kekuasaan.
Sejatinya, hanya ada dua niat dalam kekuasaan: mengorbankan diri sendiri untuk rakyat atau mengorbankan rakyat untuk dirinya sendiri. Kekuasaan yang waras mengabaikan kepentingan diri demi rakyat; sebaliknya kekuasaan yang sakit mengacu pada kepentingan diri sendiri tanpa peduli nasib rakyat.
Dunia Orang Sakit
Dalam dunia orang sakit semacam itu, kebohongan, hoax, menggunakan influenzer adalah kebenaran. Pengkhianatan, ingkar janji adalah kesetiaan, meng-kriminalisasi adalah kepahlawanan, hipokrit adalah ketulusan, rasialis adalah patriotis, merampok/korupsi adalah mengambil milik sendiri. Anda akan hidup “enjoy” dalam komunitas semacam itu. Kalau Anda ketangkap KPK atau, polisi Anda akan tetap tenang dengan kebenaran dan kewarasan baru itu. Anda merasa tidak bersalah sama sekali karena di luar Anda, ada komunitas yang membenarkan perbuatan Anda.
Suatu komunitas (yang mendukung Anda), yang selalu membenarkan Anda, yang memandang dan menganggap waras-waras saja, apa yang Anda lakukan !…berhati-hatilah. Semua keburukan itu, seperti kata Socrates, “Sejatinya kehinaan bekerja lebih cepat daripada kematian !”.
Bagi setiap manusia atau bangsa terhormat, kehinaan memang jauh lebih buruk daripada kematian. Ia sudah membunuh reputasi Anda sebelum ajal. Kematian hanyalah instansi tamatnya hidup, tetapi kehinaan terekam abadi sebagai jejak hidup – bau busuk yang akan terus menebar kemana-mana sepanjang masa.
Penulis adalah Dosen FH UAD, Yogyakarta