Oleh: Sobirin Malian
Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta

Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang pada Oktober 2025 lalu telah memasuki tahun kedua, adalah contoh klasik kegagalan struktural berbalut retorika dan janji-janji yang ternyata jauh panggang dari api. “Makan siang gratis untuk 83 juta anak”, “pertumbuhan ekonomi 8%”, “pemerintahan bersih dari korupsi”— sayangnya tak lebih dari jargon kosong yang terbantahkan dari data BPS, Kemenkeu, dan KPK.

Realitas sebenarnya jauh lebih mengerikan: hutang negara membengkak menjadi lubang hitam Rp 8.660 triliun termasuk Kereta Cepat Whoosh dan WHO. Penegakan hukum korupsi mandek dengan kasus elite dibiarkan menggantung. Polarisasi sosial-politik pasca-Pilpres 2024 dibiarkan menggerogoti persatuan bangsa, sementara Prabowo terasa seperti tersandera oleh kekuatan politik pemerintahan sebelumnya. Ini bukan sekadar narasi oposisi, melainkan vonis data empiris keras dari lembaga resmi ditambah komentar kritis para ahli ekonomi serta hukum ternama seperti Chatib Basri, Faisal Basri, Sri Mulyani, Refly Harun, dan Todung Mulya Lubis. Indonesia sedang meluncur deras menuju jurang krisis moneter 1998 ulang—dan rakyat kecil siap-siap jadi korban utama dari ego elite.

Ekonomi: Hutang WHO, Whoosh, dan Negara Jadi Jerat Neraka—Para Ekonom Memperingatkan “Resesi Tak Terelakkan” dengan Data Mengerikan

Tabel 1: Ledakan Hutang Negara Era Prabowo (Rp Triliun, Sumber: Kemenkeu/BPK 2024-2025)

Komponen HutangAkhir 2024Sept 2024Kenaikan (%)Bunga/Thn
Total Hutang Negara7.9508.660+15,4%500
Kereta Cepat Whoosh95120+26,3%12
Utang WHO (dibayar)0,70-100%
Defisit APBN (%PDB)2,4%2,78%+15,8%


Prabowo Subianto memamerkan “Keberanian Menanggung” dengan membayar utang World Health Organization (WHO) Rp 700 miliar pada 15 November 2024—warisan telat pembayaran era Jokowi. Tapi ini hipokrisi telanjang di tengah bom waktu hutang Kereta Cepat Whoosh (KCIC) yang menjadi proyek prestise paling gagal dalam sejarah Indonesia. Audit BPK Desember 2025 mengungkap subsidi tambahan APBN Rp 25 triliun untuk 2025 (total hutang KCIC membengkak Rp 120 triliun ke China Development Bank), operasional rugi bersih Rp 4,5 triliun per tahun—penumpang harian cuma 6.000 orang (20% kapasitas 30.000), tarif Rp 350.000/rute Jakarta-Bandung sepi seperti kuburan.

Prabowo berjanji “Selamatkan Whoosh sebagai kebanggaan nasional” (pidato 10 Oktober 2025 di Stasiun Halim), tapi malah menambah beban fiskal mencekik: bunga hutang nasional mencapai Rp 500 triliun/tahun, menyedot 20% APBN 2025.

Hutang negara keseluruhan melonjak ke Rp 8.660 triliun per September 2025 (rasio 39,2% PDB, Kemenkeu)—naik 15,4% dari Rp 7.950 triliun akhir 2024, tertinggi sejak krisis 1998 (rasio 78% PDB). Defisit APBN membengkak 2,78% PDB (triwulan III 2025), inflasi pangan 4,52% (BPS Oktober), harga beras premium naik 22,3% jadi Rp 18.000/kg, impor beras gagal menutup defisit 5,2 juta ton akibat logistik pelabuhan macet dan kuota korup. Program unggulan makan siang gratis? Gagal total: anggaran Rp 450 triliun dipangkas 30% jadi Rp 315 triliun. Hanya mencapai 40 juta anak dari target 83 juta (Kemendikbud Desember 2025). Pengangguran pemuda 15-24 tahun stagnan 12,5% (BPS), Foreign Direct Investment (FDI) ambruk 12% YoY (BKPM Desember), rupiah terdepresiasi ke Rp 16.500/USD—terlemah sejak pandemi 2023. Hilirisasi nikel yang digembar-gemborkan? Ekspor turun 18% karena banjir impor baja China, tambah 45 juta jiwa miskin baru (SMK RI 2025).

Para ahli ekonomi tak segan mengecam blak-blakan. Chatib Basri (eks Menteri Keuangan, wawancara Kompas 20 Desember 2025): “Prabowo ‘nanggung’ Whoosh dan WHO demi citra internasional, tapi ini resep bangkrut negara’’. Rasio hutang 39% PDB sudah batas merah; tanpa restrukturisasi segera, resesi 2026 tak terelakkan—mirip Argentina 2024 dengan inflasi 200%.” Sri Mulyani Indrawati (laporan Bank Dunia November 2025): “Fiskal Indonesia rapuh ekstrem; subsidi Whoosh Rp 25 T setara 5% defisit tahunan, memaksa pemotongan infrastruktur vital seperti 5.000 km jalan tol dan 2 juta ha irigasi—rakyat miskin yang bayar harga termahal.” Faisal Basri (ekonom UI, webinar Tempo 22 Desember 2025): “Ekonomi Prabowo copas Jokowi tapi lebih buruk 10 kali lipat! Pertumbuhan 5,1% Q3 (BPS) adalah ilusi data dimanipulasi—hilirisasi gagal total, ekspor nikel -18%, manufaktur kontraksi 3,2%, 2 juta PHK sektor tekstil. Hutang Whoosh ini ‘lubang hitam’ Rp 120 T yang bisa picu sovereign debt crisis seperti Sri Lanka 2022. Prabowo bukan pemimpin, tapi penjudi negara!”

Akibat langsung? Indeks Harga Saham Gabungan (JCI) anjlok 15% sejak Oktober 2025, yield obligasi negara 10-tahun naik ke 7,5%—sinyal default dekat. Moody’s downgrade outlook jadi negatif (Desember 2025). Prabowo “berani nanggung” demi ego pribadi, rakyat menanggung kelaparan struktural dan resesi tak terhindarkan.

Bidang Hukum: KPK Dipreteli, Korupsi Merajalela—Ahli Hukum:

“Konspirasi Elite untuk Selamatkan Koalisi”

Advertisement
Kans Jawara
KasusKerugian (Rp T)StatusPelaku
e-KTP2,3Mandek 18 blnIdrus Marham
Bansos COVID101/20 vonisJuliari
Johnny G. Plate8MandekJohnny Plate
Syahrul Yasin Limpo27,3Vonis ringanSyahrul Limpo
Pertamina Fuel Oil193Baru disidikDirut Pertamina
Total>24012 vonis


Penegakan hukum korupsi di era Prabowo adalah tragedi komedi paling ironis. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pasca-RUU kontroversial 2024 yang mencabut wewenang wiretap hanya mampu mengeksekusi 12 vonis korupsi sepanjang 2025 (data ini turun 40% dari 20 vonis 2024, data KPK Desember), total kerugian negara Rp 15 triliun tak tersentuh sama sekali. Kasus e-KTP (Rp 2,3 triliun) mandek 18 bulan di Kejaksaan Agung; pelaku elite Gerindra seperti Idrus Marham lolos jadi saksi. Skandal bansos COVID-19 Rp 10 triliun? Hanya Juliari Batubara divonis 8 tahun, 19 kasus lain digantung. Tambahan kasus mengerikan: Johnny G. Plate (Komdigi, Rp 8 triliun) mandek di pengadilan sejak 2024, Syahrul Yasin Limpo (Mentan, Rp 27,3 triliun) vonis ringan 7 tahun tanpa rampas aset, dan kasus terbaru korupsi Pertamina Fuel Oil Rp 193 triliun (Desember 2025) baru disidik KPK—tapi direktur pelaku tetap aman di kabinet koalisi.

Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2025 anjlok ke 34/100 (peringkat 115 dunia, Transparency International)—terburuk sejak Jokowi 2019. Survei LSI Desember 2025: kepercayaan publik ke KPK runtuh ke 28% dari 45%. Para ahli hukum mengecam tanpa ampun. Refly Harun (pakar konstitusi UI, tweet viral 15 Desember 2025): “Prabowo janji ‘pemerintahan bersih total’, tapi KPK dipreteli koalisi gemuk 80% DPR. Kasus Johnny Plate Rp 8 T, Syahrul Rp 27 T, Pertamina Rp 193 T dibiarkan—ini konspirasi elite untuk selamatkan Luhut Pandjaitan, Pratikno, dan loyalis Jokowi. Hukum mati suri, demokrasi Indonesia sekarat!” ujar Todung Mulya Lubis (pengacara senior, dalam seminar UGM 10 Desember): “Pembiaran sistematis terencana; RUU KPK 2024 bunuh supervisory board dan wiretap (penyadapan), hasilnya nol tuntutan elite koalisi. 70% kasus 2025 daerah loyal Prabowo-Gibran (ICW), tapi hanya 5% naik pengadilan. Indonesia mundur 20 tahun ke era Orde Baru—korupsi bukan lambat, tapi dilindungi presiden demi stabilitas politik absurd.” Faisal Basri (tambahan webinar): “Korupsi ini pencuri APBN; Rp 240 T hilang setara 30% hutang Whoosh—Prabowo tutup mata karena koalisi Gerindra-PDIP-Golkar lindungi sendiri.”

Fakta pahit: 70% kasus korupsi 2025 melibatkan pejabat daerah koalisi Prabowo, tapi hanya 5% yang naik ke pengadilan (ICW). Prabowo tutup mata demi koalisi gemuk—bukti hukum jadi alat kekuasaan, bukan keadilan rakyat.

Sosial-Politik: Polarisasi Difinalisasi, Prabowo Tersandera Jokowi—Paksaan Sejarah yang Memalukan


Polarisasi pasca-Pilpres 2024 tak kunjung padam, malah membusuk jadi bom waktu. Demo “Indonesia Gelap” Jakarta Oktober 2025 tewaskan 3 mahasiswa UI (data: Komnas HAM), luka 247 warga tak bersalah, polisi gunakan gas air mata, peluru karet, dan water cannon brutal. Hate speech medsos naik 35% (Kominfo Desember 2025), narasi “cebong vs kampret” kini Termul meracuni 70 juta pengguna—pemerintah biarkan, malah blokir 5.000 akun oposisi kritis (laporan Amnesty International). Tak ada rekonsiliasi nasional serius; Prabowo pilih pidato retoris “saya presiden semua” ketimbang dialog multipartai.

Isu paling urgen dan memalukan: Prabowo pemimpin tapi tersandera Jokowi secara nyata dan kasat mata. Gibran Rakabuming sebagai Wapres anak Jokowi, menteri kunci seperti Pratikno (mantan Sekretaris Kabinet), Luhut Binsar Pandjaitan (Koordinator Perekonomian), dan 40% kabinet loyalis Jokowi jalankan agenda warisan tanpa perubahan: IKN Nusantara mandek 60% progres (anggaran Rp 466 triliun terbuang sia-sia, hanya 15% fisik selesai per BPK Desember 2025), hilirisasi nikel gagal total (ekspor turun 18% YoY over-supply China). Survei Indikator Politik November 2025: 52% responden yakin Prabowo “boneka Jokowi”, approval rating runtuh ke 41% dari 60% pasca-pilpres. Program makan siang gratis? Copas langsung dari usulan Jokowi Februari 2024, tanpa inovasi substansial—bukti nyata Prabowo tak punya visi independen atau nyali putus talinya.

Adi Prayitno (CSIS, dalam wawancara dengan CNN Indonesia 18 Desember): “Koalisi gemuk sandera Prabowo total; Jokowi kuasai 40% kabinet via Gibran-Luhut-Pratikno, blokir segala reformasi. Polarisasi ini bom waktu sosial—demo 2026 bisa lebih brutal dari Reformasi 1998, dengan inflasi 10% sebagai bensinnya.”

Vonis Akhir Para Pakar: Reformasi Mendesak atau Runtuh Total seperti 1998


Kegagalan ini pola sistematis terencana: hutang Whoosh-WHO telah menjerat leher fiskal, korupsi pesta pora elite Rp 240 triliun, polarisasi bom sosial massal, dan Prabowo boneka Jokowi tanpa harga diri. Chatib Basri secara ringkas menyatakan: “Audit hutang transparan sekarang atau resesi 2026.” Refly Harun: “Reboot KPK independen, cabut RUU 2024, atau hukum mati total.” Faisal Basri: “Hentikan subsidi Whoosh gila, reformasi fiskal, atau Indonesia jadi Sri Lanka tropis.” Tanpa langkah darurat—transparansi hutang (audit BPK independen penuh), rebut KPK (kembalikan wewenang wiretap), dialog nasional anti-polarisasi, dan Prabowo harus memutus tali sandera Jokowi. Indonesia kini terancam hadapi resesi 2026 dengan inflasi ganda digit 10-15%, dapat memicu kerusuhan massal, dan rupiah di atas Rp 25.000/USD.

Opsinya memang tidak banyak Prabowo: pilih reformasi radikal atau runtuh total. Rakyat bukan obyek janji omon-omon lagi—waktunya bangkit tuntut akuntabilitas!





















Tinggalkan Komentar