G2RT (Global Gotong Royong Tetrapreneurship) DIY melangkah semakin maju. Kemarin Sabtu (16/03/2024), pada zoom meeting bertopik “Rapat Koordinasi Usulan PNPS Global Gotong Royong (G2R) Tetrapreneur” yang dilaksanakan oleh Direktorat PSIPPE (Pengembangan Standar Infrastruktur, Penilaian Kesesuaian, Personal dan Ekonomi Kreatif) Badan Standarisasi Nasional (BSN), Rika Fatimah P.L. M.Sc. Ph.D., founder sistem G2RT DIY, memaparkan maksud dan tujuan, serta strategi G2RT untuk kebutuhan menyusun Standar Nasional Indonesia (SNI) G2RT.
Global Gotong Royong Tetrapreneur (G2RT) merupakan inovasi solidaritas gerakan gotong royong dan wirausaha desa. G2RT bertujuan membawa kearifan lokal Indonesia di kancah dunia dengan mengangkat nilai luhur nusantara, yakni gotong royong. Saat ini, G2RT telah sukses membina UKM di 25-30 Kelurahan DIY, serta bermitra dengan sedikitnya 26 mitra pendukung dan mitra retail.
Pada paparannya, Rika Fatimah menguraikan inti dari SNI G2RT yakni bagaimana G2RT menjadi standarisasi nasional wirausaha asli Indonesia sekaligus pula nanti ketika standar SNI G2RT ini diimplementasikan, akan menjadi single entity iconic global.
“Sebagai salah satu negara dengan jumlah populasi terbesar dunia dan segala kelengkapan SDA termasuk sumber daya manusianya, Indonesia pasti masuk “radar” indeks-indeks tingkat global. Terutama dari 3 reflektif indeks global yaitu Global Enterpreneurship Indeks, National Enterpreneurship Contex Index (NECI), dan Global Startup Ecosystem Index (GSEI),” kata Rika Fatimah.
“Performa Indonesia sebagai negara yang hendak memasuki 79 tahun merdeka, kita masih berada di peringkat 75 dari 137 negara yang jika dikuadrankan menjadi kuartal 3 ke bawah. Itu adalah sesuatu yang tidak wajar jika dibandingkan dengan semua sumber daya yang dimiliki Indonesia, terutama jika menjadi dasar apabila kita berwirausaha,” jelasnya lagi.
Rika Fatimah juga menyatakan tiga Indeks di atas memiliki keyword yang sama, meskipun dari pandangan yang berbeda-beda secara ekosistem. Tiga pandangan utama ekosistem itu yakni Enterpreneurial Attitudes, Enterpreneurial Abilities dan Enterpreneurial Aspirations.
“Ketiga pandangan itu jika dilihat selama ini jauh dari intervensi-intervensi kelembagaan yang sudah dilakukan di Indonesia. Akibatnya, seperti juga di negara-negara berkembang ketika mengurusi wirausaha warga, acuannya lebih ke moneter atau kapitalnya,” imbuhnya.
Namun, lebih pada bagaimana attitude manusianya, Abilities dan Enterpreneurial Aspirations-nya. Itu juga relevan dengan sistem standarisasi ISO yang membangun korporasi berbasis kultural yang terstandar.
“Jadi, wirausaha itu bukan sekadar menjual barang, tetapi wirausaha adalah “It’s life” yang jika direfer ke perilaku Rasulullah Muhammad SAW, bukan tanpa alasan Allah menjadikan Muhammad sebelum menjadi Rasul Allah, adalah businessman,” tutur Rika Fatimah.
Ditilik dari National Enterpreneurship Contex Index (NECI) Indonesia termasuk memiliki record bagus yakni masuk ke 10 teratas. Meski 10 teratas itu bersama dengan negara-negara yang bukan dominan pada bidang ekonomi. Sehingga memang Indonesia sudah punya modal, tetapi dikhawatirkan hanya jadi jago kandang saja. Ketika masuk ke arena bisnis global, akan ada banyak masalah seperti kurang percaya diri, dan cenderung mengikuti alur ekosistem bisnis setempat atau kurang independen. Yang penting bisnis “deal”.
“Meski hal itu wajar, tapi sangat mengerikan ketika perilaku itu harus diwariskan ke generasi muda di bawah kita,” katanya.
Seharusnya Indonesia sudah mempunyai satu ruh ekonomi yakni Ekonomi Pancasila, hal mana pandangan utama bisnis tidak hanya melulu mengejar keuntungan, karena juga bisnis masyarakat Indonesia 99,99 % adalah UMKM, yang modal utama sejatinya adalah “Him self”.
“Karena itulah SNI G2RT adalah salah satu ujung tombak strategis untuk percepatan sistem ekonomi nasional Indonesia berpihak pada UMKM atau yang 99,99% itu. Dengan idialita utama satu sistem ekonomi yang berkeadilan dan sejahtera bagi para pelakunya,” tandas akademisi FEB UGM tersebut.
Lebih jauh, Rika Fatimah mengatakan saat ini UMKM kita dipaksa untuk menggunakan standar dengan skala industri. Padahal tidak semua UMKM kita bisa langsung ke skala industri. Kecuali satu saat nanti ketika SNI G2RT menjadi matang, masing-masing kelembagaan G2RT bisa berskala industri.
“Jika UMKM dibiarkan masuk begitu saja ke arena persaingan bebas, maka yang akan menang itu-itu saja atau yang 1 % itu. Terlebih ada dampak pasca pandemi covid 19 dan lain-lain,” tandasnya.
Perumusan SNI G2RT saat ini masih terus dipersiapkan antara lain akan melalui proses meeting dan pembahasan di tingkat Komite Teknis yang ke depan diharapkan dalam waktu satu tahun akan menghasilkan satu rumusan baku SNI G2RT. (p17)