Catatan Cak AT

Pengantar :

Kehadiran kucing di Paramadina bukan sekadar humor akademik. Mereka adalah simbol. Simbol adaptasi, kebersamaan, keberlanjutan, moderasi, dan tentu saja, toleransi.

Ah, Universitas Paramadina. Sebuah institusi pendidikan dengan misi mulia: menyatukan keislaman, kebangsaan, dan kemodernan. Namun siapa sangka, selain mahasiswa dan dosen, universitas ini ternyata memiliki penghuni lain yang tak kalah setia —kucing-kucing kampus. Mereka bukan penghuni liar, tapi simbol tak terucapkan dari dinamika kehidupan akademik Paramadina yang memadukan alam dan manusia.

Fachry Ali, murid cemerlang Nurcholish Madjid alias Cak Nur yang kini menjadi pengamat politik, menemukan hewan-hewan yang paling disayang Rasulullah Saw tersebut saat baru-baru ini berkesempatan napak tilas di kampus lama Paramadina. Di kampus Jalan Gatot Subroto, Jakarta, ini para kucing hidup damai, berlarian lebih bebas di bawah gedung-gedung dengan fasad beratap lancip yang kini telah dikosongkan.

Fachry melihat, mereka berjalan santai di lorong-lorong yang dulunya pernah jadi pusat diskusi intelektual. Mereka tidur di sudut aula yang menyimpan gema orasi pembaruan Islam. Bahkan, konon, beberapa kucing ini pernah diam-diam ikut mendengarkan seminar anti-korupsi. Tidak heran, dalam napak tilasnya, Fachry mengaku kehilangan, mungkin seperti yang dirasakan kucing warna-warni itu.

“Bayangkan, kucing kehilangan teman,” katanya di Youtube, dengan nada emosi, seolah-olah kucing-kucing ini mahasiswa abadi yang gagal move on dari masa kejayaan Paramadina di Gatot Subroto. Namun, apakah ada upaya serius untuk membawa kucing-kucing ini ke kampus baru Paramadina di Jalan Raya Mabes Hankam, Cipayung, Jakarta Timur? Sebuah kampus luas, dengan gedung-gedung megah, dan bertaman indah.

Tentu saja tidak. Kucing bukan mahasiswa. Mereka tak memiliki KTP, apalagi KTM. Nasib mereka seolah terlupakan di tengah hiruk-pikuk perpindahan barang-barang universitas. Padahal, siapa tahu, kucing-kucing ini menyimpan kenangan lebih dalam tentang Cak Nur dibanding para pengamat politik yang sering berbicara soal “vibes pembaruan pemikiran Islam.”

Mari kita bayangkan sebuah adegan di kampus baru. Para mahasiswa sibuk di kelas, dosen-dosen memberikan kuliah dengan penuh semangat, dan di sudut lapangan kampus, seekor kucing tua muncul, menatap dengan mata tajam. “Di mana tempat diskusi Cak Nur dulu?” tanyanya, dalam bahasa kucing tentunya. Mahasiswa yang kebetulan lewat hanya mengangguk, tidak paham, lalu mengunggah foto kucing itu ke Instagram dengan caption, “The real guardian of Paramadina.”

Tapi, jangan salah sangka. Kehadiran kucing di Paramadina bukan sekadar humor akademik. Mereka adalah simbol. Simbol adaptasi, kebersamaan, keberlanjutan, moderasi, dan tentu saja, toleransi. Jika Paramadina dikenal sebagai miniatur Indonesia karena keragaman dosen dan mahasiswanya, maka kucing-kucing ini adalah miniatur fauna Nusantara yang ikut menjadi saksi sejarah.

Meski begitu, kisah kucing-kucing ini juga menyimpan ironi. Di satu sisi, mereka adalah penjaga setia yang tak pernah minta honor. Di sisi lain, mereka juga bukti bahwa manusia sering lupa pada mereka yang tak bersuara. Sementara mahasiswa belajar tentang leadership dan entrepreneurship, kucing-kucing ini hanya belajar bagaimana bertahan hidup.

Namun, di balik kisah satir ini, ada harapan besar. Universitas Paramadina, yang dibangun Cak Nur pada 10 Januari 1998 dengan nama Universitas Paramadina Mulya, tetap menjadi pusat pembaruan. Rektornya saat ini, Prof. Dr. Didik. J. Rachbini, pernah mengatakan, universitas ini bukan hanya tempat untuk belajar dan mengajar, tapi juga harus berkontribusi untuk memuwudkan masyarakat madani.

Dengan kampus barunya yang lebih luas dan representatif di Cipayung — selain di Cikarang dan Kuningan — Paramadina siap menjadi garda terdepan dalam membangun peradaban Islam modern yang inklusif. Dan siapa tahu, suatu hari nanti, kucing-kucing kampus lama akan menemukan jalan mereka ke kampus baru, bertemu kawan-kawan mereka yang suka tidur di atas ransel mahasiswa, menjadi penjaga diam-diam dari diskusi keislaman dan kebangsaan yang terus berlanjut.

Karena pada akhirnya, baik manusia maupun kucing, kita semua adalah bagian dari makhluk Allah Sang Pencipta. Kucing mungkin punya narasi besar tentang toleransi dan keberlanjutan, kita menambahkan narasi soal pembaruan, keindonesiaan dan kebangsaan, untuk memuwudkan masyarakat madani. Hidup Paramadina, hidup kucing-kucing kampus!

Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’ân, 15/12/2024

Kans Jawara

Tinggalkan Komentar